Dari pengamatan
saya terhadap keseharian yang saya temui, saya dapat menyimpulkan satu
hal: Tuhan memang serba bisa, tapi Dia tidak pintar matematika.
Kesimpulan ini bukan tanpa dasar lho. Banyak bukti empiris yang
mendukung kesimpulan saya ini.
Sebagai seorang “fresh graduate”,
saya tak mungkin mengharapkan penghasilan tinggi dalam waktu sekejap.
Terlebih karena saya memegang prinsip bahwa hal yang terpenting dalam
bekerja adalah kepuasan hati. Saya lebih memilih pekerjaan yang mungkin
tak segemerlap pekerjaan yang dipilih teman-teman seangkatan saya, tapi
mampu “memuaskan” idealisme saya.
Saya memang
sangat mencintai dan menikmati pekerjaan saya saat ini. Tapi saat saya
berbincang dengan seorang teman yang bekerja di ibukota, ia mulai
membandingkan penghasilan kami (dari sisi finansial tentunya). Jelas
saja saya kalah telak darinya.
Saya sempat
jengkel sebentar. Bagaimana tidak. Selama bermahasiswa, sepertinya
prestasi kami sejajar, bahkan saya lebih dahulu lulus ketimbang dia.
Tapi kenapa Tuhan tidak menitipkan rejeki yang sama besarnya dengan yang
dititipkan pada teman saya ini?
Tapi, begitu
saya merenungkan kembali segala kebaikan Tuhan saya menemukan satu hal
yang luar biasa. Ternyata penghasilan saya yang tak seberapa itu cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya, bahkan untuk mengirim adik ke
bangku kuliah. Padahal logikanya pengeluaran saya per bulannya bisa
sampai dua kali lipat penghasilan saya. Lalu darimana sisa uang yang
saya dapat untuk menutupi kesemuanya itu? Wah, ya dari berbagai sumber.
Tapi saya percaya tanpa campur tangan-Nya, itu semua tidak mungkin.
Nah, ini salah
satu alasan mengapa Tuhan tidak pintar matematika. Lha wong seharusnya
neraca saya sudah njomplang kok masih bisa terus hidup.
Bukti kedua
adalah kesaksian seorang teman. Ia mengaku kalau semenjak lajang,
penghasilannya tidak jauh berbeda dengan sekarang. Anehnya, pada saat ia
masih membujang, penghasilannya selalu pas. Maksudnya, pas akhir bulan
pas uangnya habis. Anehnya, begitu ia berkeluarga dan memiliki anak,
dengan penghasilan yang relatif sama, ia masih bisa menyisihkan uang
untuk menabung. Aneh bukan?
Berarti kalau
bagi manusia 1 juta dibagi satu sama dengan 1 juta dan 1 juta dibagi dua
sama dengan 500 ribu, tidak demikian bagi Tuhan.
Dari kesaksian
teman saya, satu juta dibagi 3 sama dengan satu juta dan masih sisa.
Betul kan bahwa Tuhan itu tidak pintar matematika?...
Ah, saya cuma bercanda kok.
Buat saya,
kalau dilihat dari logika manusia, Dia memang tidak pintar matematika.
Mungkin murid saya yang kelas 2 SD lebih pintar dari Dia. Tapi satu hal
yang harus digarisbawahi: MATEMATIKA TUHAN BEDA DENGAN MATEMATIKA
MANUSIA.
Saya tidak tahu
dan mungkin tidak akan pernah sanggup mengetahui persamaan apa yang
digunakan Tuhan. Tapi kalau boleh saya menggambarkan, ya kira-kira
demikian:
X= Y di mana: X = pemberian Tuhan Y = kebutuhan
Ya, Tuhan
selalu mencukupkan apapun kebutuhan kita. Tanpa kita minta pun, Dia
sudah “menghitung” kebutuhan kita dan menyediakan semua lewat
jalan-jalan- Nya yang terkadang begitu ajaib dan tak terduga.
Menyadari hal
itu, saya bisa menanggapi cerita teman-teman yang “sukses” dengan
penghasilan tinggi di luar kota dengan senyum manis. Soal penghasilan
Tuhan yang mengatur. Untuk apa saya memusingkan diri dengan berbagai
kekhawatiran sementara Dia telah menghidangkan rejeki di hadapan saya?
Yang perlu saya
lakukan hanyalah melakukan bagian saya yang tak seberapa ini sebaik
mungkin, dan Ia yang akan mencukupkan segala kebutuhan saya.